Nota Kesepahaman Baru akan Memperluas Kerjasama Penelitian dan Pengajaran di Indonesia Timur

Dari burung dan kura-kura dengan perut penuh plastik, ke pantai yang penuh dengan wadah minuman: masalah limbah laut plastik tidak hanya merusak pemandangan, namun juga mematikan. Tepat di depan “pintu rumah” kami adalah Indonesia, penyumbang sampah terbesar kedua di dunia.

Penandatanganan Nota Kesepahaman yang baru antara Southern Cross University dan Universitas Pattimura di kampus Lismore minggu ini merupakan pendalaman hubungan antara kedua institusi dan juga kesempatan untuk membuka peluang baru yang menarik, seperti menemukan solusi yang tepat untuk mengelola volume plastik yang dibuang di laut. Southern Cross University dan Universitas Pattimura memiliki sejarah dalam penelitian dan kolaborasi pengajaran yang kuat selama lima tahun.Salah satu publikasi penelitian yang berfokus pada distribusi merkuri dan transfer rantai makanan di Indonesia mendorong pihak berwenang Ambon melarang penggunaan merkuri di daerah pemrosesan. “Kolaborasi di masa datang mencakup ilmu kelautan dan manajemen perikanan. Hal ini penting mengingat 93 persen dari Provinsi Maluku (di Indonesia Timur) adalah laut dan proporsi sumber protein yang sangat tinggi berasal dari sana, “kata Profesor Amanda Reichelt-Brushett, Wakil Kepala Sekolah Lingkungan Hidup, Ilmu Pengetahuan dan Teknik. “Southern Cross University akan terus memberikan dukungan serta pelatihan kimia analitis yang kuat dengan menggunakan fasilitas yang terdapat di Laboratorium Analisis Lingkungan (NATA National Laboratory of Testing Authorities).” Berkat dana dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan untuk proyek ‘Pengembangan Profesional untuk Kepemimpinan Kelautan dan Perikanan Maluku dan Maluku Utara, Indonesia’, 15 orang – termasuk tujuh dari Universitas Pattimura – akan berpartisipasi dalam program kepemimpinan selama satu bulan di kampus Lismore dan National Marine Science Centre di Coffs Harbour.

Profesor Dr Marthinus Johanes Saptenno, Rektor Universitas Pattimura, mengatakan ingin agar para mahasiswa di kampus UNPATTI dapat menjadi bagian dari industri pariwisata Indonesia Timur. “Southern Cross University memiliki track record yang bagus karena memiliki jurusan pariwisata dan perhotelan. Kami sangat tertarik untuk mengembangkan Bachelor of Tourism dan mendapatkan wawasan dari Southern Cross University untuk mengembangkan kerjasama dalam berbagai program dan penelitian.”

Hari ini, perwakilan dari Universitas Pattimura mengunjungi National Marine Science Center untuk melihat demonstrasi teknologi kecil dan portabel yang disebut Shruder, yang dapat merevolusi pengelolaan sampah, sembari menghasilkan pendapatan bagi penduduk desa.

“Indonesia memproduksi lebih dari 10 persen sampah plastik laut dunia. Ini adalah isu lingkungan yang penting.” kata Profesor Steve Smith, Direktur National Marine Science Center, yang baru-baru ini menyelesaikan survei reruntuhan laut di sembilan lokasi di Provinsi Maluku dan mempresentasikan lokakarya puing-puing kelautan di Universitas Pattimura di Ambon. “Survei tersebut menunjukkan bahwa rata-rata jumlah puing per kilometer pantai adalah 160.000. Yang terendah, di pantai terpencil di Kepulauan Kei, adalah 4000 per km. Yang tertinggi, di pantai yang bersebelahan dengan pusat populasi besar, adalah 313.000 per km yang sebagian besar terbuat dari plastik kecil.”

“Mengatasi pengelolaan sampah akan memberi dampak nyata pada kesehatan pantai, lingkungan laut dan industri perikanan, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.” Penemu Coffs Harbour Louise Hardman telah mengembangkan Shruder dengan berkonsultasi dengan Southern Cross University untuk menangani masalah puing laut di Asia Tenggara dan Pasifik.

Solusi pengelolaan limbahnya tidak hanya portabel dan berskala kecil – tapi ini bisa menghasilkan pendapatan bagi penduduk desa. Portabel ini menghancurkan dan mengekstrusi plastik menjadi bahan daur ulang, termasuk bahan bangunan komposit dan filamen printer 3D. “Dengan sampah plastik menjadi wabah di seluruh dunia, sangat penting bagi kita untuk memberikan solusi bagi masyarakat yang nantinya akan memberdayakan mereka untuk mengelola kesehatan lingkungan dan komunitas mereka. Lebih baik lagi, ketika salah satu hasil pengelolaan sampah adalah pembangkitan pendapatan,” kata Hardman, Pendiri dan CEO Plastic Collective. “Portabel Shruder mengubah sampah plastik menjadi bahan plastik robek mentah, yang bisa dijual ke perusahaan daur ulang untuk membuat barang lebih besar seperti rumah dan bahan bangunan komposit lainnya. Bahan ekstrusi dapat digunakan sebagai filamen printer 3D, yang sangat bagus mengingat industri printer 3D diperkirakan akan meledak menjadi $ 1,4 triliun pada tahun 2021.”

Foto: Wakil Rektor Profesor Adam Shoemaker (kiri) bersama Profesor Dr Marthinus Johanes Saptenno, Rektor Universitas Pattimura.

sumber: http://scu.edu.au/news/media.php?item_id=16941&action=show_item&type=M

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *